Pengertian Hubbuddunya
hubbun dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia. Definisi di atas dapat dipahami bahwa hubbun dunya berarti mencintai kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Dalam pengertian tersebut muncul sebuah pertanyaan apa yang di maksud dengan dunia?”segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat”, menurut K.H, Ahmad rifa’i yang dikutip dalam buku akhlak tasawuf karyaNur hidayat,M.Ag , itulah yang dinamakan dunia, dan disebut juga dunia haram. Dengan kata lain bahwa dunia haram ialah hal-hal yang bersifat duniawi yang tidak diperguanakan untuk ibadah kepada Allah SWT, sehingga hal yang bersifat keduniawian tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di akhirat.
Begitupula dengan harta, banyak harta yang halal tetapi tidak dipergunakan sesuai dengan jalan Allah SWT, seperti tiddak di keluarkannya zakat, tidak digunakan untuk sedekah, dan lain sebagainya. Sejalan dengan K.H, Ahmad rifa’i, pendapat Al-Ghazali yang dikutip dalam buku akhlak tasawuf karyaNur hidayat,M.Ag, mengatakan bahwa segala sesuatu yang memberikan keuntungan, bagian tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan pada manusia yang didapat langsung sebelum meninggal disebut dunia.
Seseorang yang terlalu cinta dengan dunia itu mengakibatkan dirinya berbuat kesalahan dan dosa besar, misalnya seperti berbuat maksiat dan lain sebagainya. Sebagaimna Rasulullah saw menjelaskan:”cinta terhadap dunia merupakan pangkal dari setiap kesalahan”. Dijelaskan juga dalam Al-qur’an:”dan celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat”.
Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagian di akhirat, jangan terperangkap oleh kemewahan dunia yang bersifat sementara, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk memantu dalam beribadahkepada Allah SWT. Slan itu seorang mukmin juga tidak boleh bergantung pada kemewahan duni karena hal tersebut dapat membuat kita lupa terhadap sang pencipta dan dapat membuat kita lupa akan kebahagaian yang akan kita dapat di ahirat kelak.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
الدُّنْيَامَزْرَعَةٌلِلْأَخِرَةِ
Artinya: dunia adalah kebun bagi akhirat. [1]
Al-Thama’
Dalam buku karya Nur Hidayat yang berjudul akhlak tasawuf K.H.Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-thama’ sebagai berikut: yang dimaksud thama menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedangkan menurut istilah adalah kesenangan atau kecintaan terhadap dunia tanpa memperhitungkan keharaman yang besar dosanya.
Definisi di atas dapatdi pahami bahwa thama’ berarti sifat rakus yang berlebihan terhadap duniawi, sehingga sehingga tidak mempertimbanhkan cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniawin tersebut hukumnya halal dan haram, yang dipentingkan dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.[2]
Thama’ menyebabkan hati seseorang mengeras seperti batu.ia pun tidak akan segan-segan berbuat maksiat, menipu, korupsi dan masih banyak lainnya. Seseorang yang telah melakukan perbuatan tercela ini mungkin telah tenggelam dalam lautan maksiat dan dosa.
Dalam buku akhlak tasawuf karya Abdul Mustaqim, orang-orang sufi berpendapat bahwa ketika seseorang tenggelam dan larut dalam keindahan dunia, maka maka ia cenderung menyia-nyiakan akhirat. Ia pun malas beribadah, suka menunda-nunda salat, meninggalkan puasa rahmadhan dan lain sebagainya demi mengejar kenimatan dan keuntungan duniawi semata, sementara investasi akhirat dikesampingkan begitu saja. Orang tua sering mengingatkan bahwa dunia itu ibarat air laut, semakin diminum, maka akan semakin hauslah kita. Oleh sebab itu, kita tidak diperboleh terlalu cinta kepada dunia, kita harus ingat kematian sebagai penawarnya. Di samping itu kita juga harus banyak bersyukur terhadap apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Dengan begitu, hati kita akan tenang.[3]
Itba’ al-hawa
Yang disebut itba al- hawa’menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak pula.[4]
Selain pengertian di atas dalam kitab Ri’ayat al-himmat yang dikutip oleh Nur hidayat dalam bukunya yang berjudul akhlak tasawuf menjelaskan tentang pengertian itba al- hawasebagai berikut: itba al- hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu, adapun menurut istilah syara’ berarti orang yang lebih mengikuti kejelekan hatinyayang diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang mengikuti hawa maksiat.
Definisi di atasdapat dipahami bahwa itba al- hawa adalah sikap yang menuruti hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syara’. Orang yang seperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi temannya setan, selain itu ia juga melupakan kehidupan yang kekal dan hakiki di akhirat. Di kisahkan didalam Q.S. surat shad ayat 26 :
- “Hai Daudsesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Oleh karena itu, hawa nafsu harus bisa kita kendalikan dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’ karena hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim yang dikutib dalam buku akhlak tasawuf karya Nur hidayat:
أصل كل السررضاؤك عن نفسك مأوى الضر
Artinya: setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap hawa nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.[5]
Referensi
[1] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit ombak, 2013), hlm.104
[2] Ibid., hlm.108
[3] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm.129.
[4] Tatik Harya,Library Walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1-2005-Tatikharya-497-bab4, 22 Maret 2016, 09:30 WIB
[5] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta:Penerbit ombak, 2013), hlm.109