Hadits Tentang Rukun Islam

Hadits Tentang Pentingnya Niat Dalam Ibadah

Diposting pada

KITAB ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH

HADITS PERTAMA

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Arti Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)[1]

Syarah Hadits Pertama

Mayoritas ahli bahasa Arab dan ushul fiqih menyatakan bahwa lafadz “اِنَّماَ”  digunakan untuk membatasi. Fungsi kalimat ini adalah menetapkan pernyataan yang disebutkan dan menafikan selainnya. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa maksud hadits ini adalah bahwa amalan-amalan  itu hanya dihitung apabila disertai dengan niat dan tidak dihitung jika tanpa disertai niat.[2]

Di dalamnya juga menunjukkan bahwa thaharah (bersuci), yaitu berwudhu, mandi, dan tayamum hanya ssah apabila disertai dengan niat. Begitu pula dengan shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, dan seluruh ibadah lainnya.

Adapun menghilangkan najis, pendapat yang masyhur menurut madzhab Syafi’i adalah tidak memerlukan niat. Sebab, perbuatan tersebut termasuk dalam bab perbuatan meninggalkan, sedangkan perbuatan meninggalkan tidak membutuhkan niat.[3]

Sabda Rasulullah SAW,   وانّما لكلّ امرئ ما نوى  (dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan), penyebutan kalimat tersebut sesudah  انّما الاعمال بالنّيات  itu untuk menjelaskan bahwa menentukan apa yang diniatkan merupakan syarat. Jika seseorang wajib menunaikan shalat yang sudah lewat waktunya, tidak cukup baginya hanya berniat meaksanakan shalat yang terlewat. Tetapi ia harus meniatkan shalat yang dilakukannya, baik itu shalat Dhuhur, Ashar, dan sebagainya. Jika tidak karena kalimat kedua tersebut, niscaya kalimat yang pertama menunjukkan sah-nya niat menentukkan apa yang diniatkan, atau disalahpahami demikian.[4]

Sabda Rasulullah SAW   فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله  (Barang siapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya.

Maksud kalimat ini adalah bahwa siapapun yang dalam hijrahnya bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah maka ganjarannya ada di hadapan Allah. Begitu juga siapa pun yang dalam hijrahnya bermaksud untuk medapatkan dunia atau wanita maka itulah bagiannya. Ia tidak mendapatkan bagian ganjaran di akhirat karena hijrahnya tersebut.[5]

 Asal makna hijrah adalah meninggalkan. Maksud dalam hadits ini adalah meninggalkan tanah air. Adapaun penyebutan wanita menyertai dunia mengandung dua pemahaman. Di antaranya yaitu:

Pertama, sebab periwayatan hadits ini adalah bahwasannya ada seorang laki-laki yang berhijrah agar dapat menikah dengan seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummu Qais. Oleh karena itu, ia dijuluki Muhajir Ummu Qais (yang berhijrah demi Ummu Qais).[6]

Kedua, sebagai peringatan untuk lebih berhti-hati terhadap hal tersebut. Ini termasuk dalam bab menyebutkan hal yang khusus sesudah yang umum untuk menjelaskan keistimewaannya. Wallahu a’lam.[7]


REFRENSI BUKU

[1] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 1-2.

[2] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 4.

[3] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 4

[4] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 5.

[5] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 5

[6] HR. Thabrani dalam Al-Kabir (8540) dan dishahihkkan  oleh al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lamin Nubala (10/590) dan Ibnu Hajar dalam Fathul bari (1/10). Ibnu Hajara berkata: “Akan tetapi, dalam hadits ini tidak ada pemahaman bahwa hadits Al-A’mal diriwayatkan dengan sebab kejadian tersebut dan aku tidak melihat sedikitpun dari jalur-jalur periwayatan yang menunjukkan penegasan tentang hal tersebut.”

[7] Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi (13/54,55).