dosenmuslim.com – Sebagai umat Islam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Islam adalah yang wajar dan sangat baik, terutama tentang sejarah kodifikasi hadits. Banyak sekali umat Islam yang belajar hadits dan ulumul hadits, akan tetapi jarang mereka mengkaji sejarah pembukuannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan tentang sejarah kodifikasi hadits (Pembukuan hadits).
Disusun oleh :
Muhammad Nasikhul Abid (19204010129)
Mahasiswa S2 Program studi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Studi Hadits dalam Perspektif Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd.
Pengertian Kodifikasi Hadits
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin yang merupakan bentuk masdar dari dawwana, yudawwinu, tadwiinan yang berarti pembukuan. Pembukuan adalah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan yang ada di dalam dada, kemudian menyusunnya hingga menjadi satu kitab.[1] Jadi kodifikasi berbeda dengan menulis, karena menulis belum tentu disusun menjadi buku, sedangkan kodifikasi tulisan yang telah dibukukan.
Baca juga : Keutamaan Shalat Dhuha Menurut Hadits Shahih
Faktor-faktor Kodifikasi Hadits
Upaya pembukuan hadits secara resmi ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya:
- Al-Qur’an telah dibukukan dan tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadits.
- Para perawi hadits telah banyak yang meninggal. Jika hadits tidak segera ditulis dan dibukukan, maka lama kelamaan hadits akan hilang bersama dengan meninggalnya perawi hadits.
- Daerah kekuasaan Islam semakin luas dan peristiwa-peristiwa umat Islam semakin kompleks, sehingga memerlukan petunjuk dari hadits sebagai sumber agama.
- Pemalsuan hadits semakin merajalela. Jika kejadian tersebut dibiarkan, maka akan mengancam kemurnian dan kelestarian hadits.[2]
Download : Buku Telaah Kritis atas Doktrin Faham Wahabi/ Salafi
Sejarah Kodifikasi (Pembukuan) Hadits
Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ hingga beliau disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima. Beliau menetapkan dan memerintah ulama-ulama pada masanya untuk melakukan kodifikasi hadits disebabkan karena kesadaran beliau atas banyaknya para perawi hadits semakin lama banyak yang meninggal. Sehingga beliau khawatir jika hadits tidak segera dibukukan maka akan hilang dan lenyap.[3] Di bawah ini akan dijelaskan 7 periode sejarah kodifikasi hadits, sebagai berikut:
Periode pertama adalah periode pada zaman Rasulullah SAW. Pada periode ini dikenal dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[4] Sehingga pada awal-awal kemajuan Islam Rasulullah SAW melarang para shahabatnya untuk menulis hadits, karena disamping akan bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an juga agar umat Islam lebih fokus pada Al-Qur’an.[5] Akan tetapi dengan berjalannya waktu tidak sedikit di antara para shahabat banyak yang berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi SAW. Hal tersebut dikarenakan selain melarang, Rasulullah di lain waktu juga membolehkan para shahabatnya untuk menulis hadits. Sehingga banyak di antara para shahabat yang memiliki shahifah hadits, di antaranya: Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin Jundab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.[6]
Periode kedua adalah dimulai pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada periode ini dikenal dengan masa pembatasan atau pengurangan dalam periwayatan hadits Nabi SAW sebagai bentuk kehati-hatian. Usaha para shahabat dalam membatasi periwayatan hadits dilatar belakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Hal ini dikarenakan suasana pada waktu itu tidak kondusif, bahkan terjadi perpecahan dan fitnah di dalam umat Islam itu sendiri,[7] di antaranya munculnya nabi palsu, terbunuhnya Umar, Usman, dan Ali, banyak shahabat yang tidak suka kepada Usman, munculnya Syi’ah, dll. Sehingga para shahabat sangat berhati-hati dalam menerima kegiatan periwayatan hadits. Para shahabat pada periode ini meriwayatkan hadits melalui dua cara, yaitu bilafdzi dan bilmakna.[8]
Periode ketiga adalah masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah. Periode ini berlangsung pada masa shahabat kecil/ muda dan tabi’in atau pada masa Dinasti Muawwiyah sampai pada akhir abad 1 Hijriyah. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, hingga Spanyol. Bertambahnya wilayah Islam berdampak pada tersebarnya hadits di dalamnya.[9]
Periode Keempat adalah Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Penulisan dan pembukuan hadits ini dimulai setelah adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 – 720 M). Perintah resmi tersebut sebagai instruksi langsung dari Umar untuk seorang Ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm (Ibnu Shihab Az-Zuhri) yang menjabat sebagai Gubernur Madinah agar menuliskan hadits Nabi Muhammad SAW.[10]
Latar belakang Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan agar mengkodifikasi hadist adalah karena kekhawatiran akan hilangnya hadits seiring meninggalnya para perawi hadits dan khawatir akan bercampurnya hadits Nabi SAW dengan hadits palsu. Pengkodifikasian hadits ini berlangsung hingga pemerintahan Bani Abbasiyah tepatnya pada pertengahan awal abad ke III H.
Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w. 179 H) di Makkah, Ibnu Shihab Az-Zuhri (w. 124 H), Ali Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H) di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shihab (w. 160 H) dan Abdurrahman Al-Auza’i (w. 156 H) di Suriah.[11] Selain itu juga termasuk imam Syafi’i (w. 204 H) di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di Baghdad.[12] Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik, termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Dan kitab hadits pada periode ini masih bercampur dengan fatwa shahabat, tabi’in, hingga hadits palsu karena belum ada penyeleksian secara penuh.[13]
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Periode ini berangsung sekitar pertengah awal abad ke III Hijriyah, atau tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Mu’tadir.[14] Periode ini ulama-ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits, yakni memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits mauquf dan maqtu’. Pada periode ini lahirlah kitab induk hadits (Kutubus Sittah), di antaranya:
- Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)
- Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)
- Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
- Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)
- Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H)
- Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)[15]
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung 2 setengah abad, mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H. Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode kelima, sehingga periode ini juga melahirkan banyak ulama dan kitab hadits, di antaranya:
- Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Mu’jam Ash-Shaghir.
- Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni.
- Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah.
- Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra.
- Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar.
- Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll.[16]
Periode Ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Pada periode ini ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Para periode ini hanya sedikit ulama hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hapalan yang sempurna, di antaranya ulama yang masih menyampaikan hadits secara hapalan sempurna adalah Imam Al-Iraqy (w. 806 H), Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), As-Sakhawy (w. 902 H).[17] Ketiganya mempunyai hubungan sebagai guru dan murid.
Footnote
[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. ke-II, 1994), hlm. 33.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 88.
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir, (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), Ed. 3, hlm.78.
[4] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 18.
[5] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 89.
[6] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 19.
[7] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 90.
[8] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20.
[9] Ibid., hlm. 20
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 75.
[11] Ibid., hlm. 91.
[12] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20-21.
[13] Ibid., hlm. 21.
[14] Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: LISK, 2000), hlm. 197.
[15] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 21.
[16] Ibid., hlm. 22-23.
[17] Fathur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 296.
Daftar Pustaka
Abdul Hakim, Atang. 2003. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Qaththan, Manna’. 1994. Mabahis fi ‘Ulum Al-Hadits. Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. ke-II.
Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009. Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir. Semarang:Pustaka Rizki Putra, Ed. 3.
Muhajirin. 2016. Ulumul Hadits II, Palembang: NoerFikri Offset.
Nata, Abudin. 2000. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: LISK.
Rahman, Fathur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7.