Hakikat Makna ASWAJA (Ahlussunnah Waljama’ah)

Diposting pada

Hakikat Makna ASWAJA

Pada kesempatan kali ini dosenmuslim.com akan menebar ilmu tentang hakikat makna ASWAJA. Untuk lebih jelasnya mari kita baca di bawah ini.


ASWAJA

Sekarang ini banyak sekali ormas atau aliran yang mengklaim bahwa dirinyalah yang ahlussunah wal jama’ah, bahkan merka menyalahkan ormas atau aliran lain yang tidak sependapat dengannya karena mereka meyakini bahwa yang ahlussunah wal jama’ah hanya dirinya dan ormas atau aliran lain tidak ahlussunah wal jama’ah.

Kita ketahui bersama, sekarang ini banyak ustad-ustadz yang baru keluar dari studinya langsung membuat kajian jamaah untuk menyebarkan pemahamannya yang telah mereka dapat. Sebenarnya tidak masalah, tetapi yang jadi masalah adalah materi yang disampaikan oleh ustadz-ustadz sekarang kebanyakan menyalahkan ormas atau aliran yang telah ada lama sebelum mereka ada. Seakan-akan dialah yang benar dan yang lain salah.

Oleh karena itu di artikel kali ini saya akan menyajikan tanya jawab tentang Ahlussunah Wal Jama’ah.


Hakikat Makna ASWAJA

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah

Soal          : Apakah arti Ahlussunah Waljama’ah itu?

Jawab       : Kata-kata ahlu artinya adalah keluarga, golongan, atau pengikut. Sedangkan kata-kata as-sunnah artinya adalah ajaran Nabi Muhammad SAW yang meliputi:

  1. Perkataan Nabi Muhammad SAW (Sunnah Qauliyah)
  2. Perbuatan Nabi Muhammad SAW (Sunnah Fi’liyah)
  3. Dan ketetapan Nabi Muhammad SAW atau sikap diam Nabi dalam menilai ucapan dan tingkah laku seorang shahabat (Sunnah Taqririyah)

Kemudian kata-kata waljama’ah artinya adalah kumpulan atau kelompok. Dan yang dimaksud di sini adalah kelompok shahabat  Nabi yaitu mereka yang beriman. Yang hidup sezaman dengan Nabi dan pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

Walhasil   : jadi, jelasnya ahlussunah waljama’ah adalah golongan yang mengikuti sunnah atau ajaran Nabi Muhammad SAW serta mengikuti jejak langkah shahabat Nabi Muhammad SAW.


Soal          : Apakah perkataan ahlussunah waljama’ah di dalam kitab-kitab ushuluddin bisa disebut kaum sunni, atau kaum Asy’ariyah dan Al-Maturidhiyah?

Jawab       : iya bisa. Perkataan ahlussunah waljama’ah di dalam kitab-kitab ushuluddin bisa disebut kaum sunni, atau kaum Asy’ariyah dan Al-Maturidhiyah, karena sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab Al-Ittihaf juz 2 halaman 6 sebegai berikut;

اذا اطلق اهل الشنّة والجماعة فالمراد به الاشاعرة والماترديّة

Artinya: “Ketika diucapkan ahlussunnah waljama’ah maka yang dimaksud adalah paham yang diajarkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.

                 Kemudian kata-kata ahlussunnah waljama’ah disebut juga Assawadul A’dhom yakni golongan yang besar atau yang terbanyak, walaupun umpamanya di zaman akhir ini hanya terdapat seorang saja yang mengamalkan Ahlussunnah waljama’ah, maka ia tetap digolongkan sebagai golongan mayoritas atau terbanyak, karena ia dikumpulkan dengan golongan Nabi, para shahabat Nabi, para tabi’in dan seterusnya sampai akhir zaman.

                 Dan perlu diketahui bahwa di dalam kata-kata Ahlussunnah Waljama’ah terdapat pula kata-kata Ijma’ dan Qiyas.


Baca juga: Pengertian I’rab


Ijma’ dan Qiyas

Soal          : Apakah Ijma’ itu?

Jawab       : Ijma’ adalah persetujuan atau kesepakatan para ulama’ ahli ijtihad dalam menentukan suatu hukum di suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam masalah ijma’ ini ada perbedaan antara madzhab 4 seperti keterangan di bawah ini:

  1. Menurut madzhab Hanafi, ijma’nya adalah shahabat Nabi.
  2. Menurut madzhab Maliki, ijma’nya adalah orang Madinah.
  3. Menurut madzhab Syafi’i, ijma’nya adalah para mujtahidin.
  4. Menurut madzhab Hanbali, ijma’nya adalah shahabat Nabi.

Soal          : Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Menentukan Hukum Islam?

Jawab       : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali sependapat bahwa ijma’ tetap menjadi dasar dan sumber pengambilan hukum Islam (Fiqih), akan tetapi mereka berselisih di dalam menempatkan kedudukan penggunaannya. Sebagaimana Imam Maliki menggunakan ijma’ sesudah Al-Qur’an yakni nomor 2 sebelum mengggunakan hadits. Karena beliau berpendapat bahwa ijma’ yang digunakan tersebut ijma’nya ulama’ Madinah, dan ulama’nya Madinah itu lebih kuat dari pada hadits ahad.

                 Adapun Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali berpendapat bahwa ijma’ tetap menjadi dasar dan sumber pengambilan hukum nomor 3 yakni setelah hadits.


Soal          : kemudian, apa itu qiyas?

Jawab       : Qiyas merupakan salah satu cara atau sumber hukum Islam yang dibenarkan oleh syara’ untuk menjawab permasalahan yang timbul dan yang tidak ditemukan dalilnya yang sharih (jelas) dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far’u) kepada hukum asal (pokok) karena adanya alasan hukum (‘illatul hukmi) yang sama. Imam Ibnu Hajib al-Maliki (570-646 H/1174-1249 M) berkata:

قال ابن الحاجب المالكي القياس هو مساواة الفرعِ الاصلَ في علّة حكمه (الحضرى اصول الفقه :289)

                 Artinya: “Ibnu al-Hajib al-Maliki berkata: ‘Qiyas adalah persamaan far’u (masalah yang disamakan) dengan asal (masalah yang dibuat persamaan) dalam segi ‘illat hukumnya (penyebab sebuah hukum)’.” (Al-Hadlari, hal. 289)

Soal         : Bagaimana kedudukan qiyas dalam sumber hukum Islam?

Jawab      : Kedudukan qiyas dalam sumber hukum Islam sama dengan kedudukan ijma’, yakni qiyas menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits. Jadi, ketika ulama tidak menemukan dalil di dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka ulama menggunakan ijma’ dan qiyas untuk menetapkan sebuah hukum.

                 J J J ….Semoga bermanfaat…. J J J