Mengenal Akhlak Tercela tentang Sum’ah dalam Akhak Tasawuf

Diposting pada

Pengertian Sum’ah

Di dalam buku akhlak tasawuf karya Nur Hidayat yang mengutip dari Alwan Khoiri dkk. Bahwa K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan pengertian sum’ah sebagai berikut;

Sum’ah menurut bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan benar lahiriah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya tidak ridha menuju kepada Allah melainkan batinnya menuju karena dunia itulah sum’ah, haram hukumnya setelah melakukan amal kebajikan.[1]

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa sum’ah adalah memperdengarkan suatu amal atau ibadah yang dilakukannya dengan benar, lahiriah ikhlas karena Allah SWT kepada orang lain dengan tujuan supaya orang tersebut memuji, menghormati, dan memuliakan dirinya. Perbuatan seperti itu haram hukumnya karena mencampur adukkan antara niat ikhlas karena Allah SWT dengan niat ingin mendapat pujian, penghormatan, dan kemuliaan dari manusia.

Hal di atas sejalan dengan ungkapan Imam Ghazali yang dikutip oleh Nur Hidayat dalam bukunya akhlak tasawuf sebagai berikut;

لَا تَظْهَرُ الْفَضِلَةَ كَالْعِلْمِ وَالْطَاعَةِ

Artinya: “Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.”[2]

            Allah SWT berfirman di dalam surat An-Najm ayat 32, yang artinya sebagai berikut:

“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.”[3]

Dari beragai uraian di atas, maka timbul pertanyaan; bagaimana jika ada seseorang menampakkan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas, budi pekerti yang luhur, dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama?

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu juga sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan keistimewaan agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut menjadi tercela.[4]


Referensi

[1] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hal. 118-119.
[2] Ibid, hal. 119.
[3] Mushaf Wakaf Al-Qur’an dan Terjemah (Banten: Forum Pelayan Al-Qur’an, 2013), cet. Ke-2, hal. 527.
[4] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hal. 119-120.