Jadilah Orang yang Ikhlas

Diposting pada

Pengertian Ikhlas

Ikhlas adalah al-tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Artinya seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan karena mengharap pujian makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa ikhlas berkaitan erat dengan niat dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang sempurna harus dilakukan baik sebelum, sedang, dan sesudah ibadah. Sebab ada orang yang ikhlas ketika beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak kepada sikap riya’ (pamer), maka rusaklah nilai ibadahnya.[1]

Ikhlas dibagi menjadi dua bagian:

  1. Ikhlas dalam beramal atau beribadah. Artinya kita berniat ikhlas dalam beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, meragukan perintah-Nya, dan memenuhi panggilan-Nya.
  2. Ikhlas dalam mencari pahala, yaitu suatu keinginan untuk menggapai keselamatan di akhirat dengan cara melakukan amal shaleh. Dengan kata lain, amal kebajikan sebenarnya dapat diiringi dengan dua keikhlasan: ikhlas beribadah karna Allah dan ikhlas beribadah kaena memohon pahala akhirat.[2]

As-susiy berkata,”keikhlasan itu ialah ketiadaan melihat ikhlas. Karna barang siapa menyaksikan keikhlasan didalam keikhlasan, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan”. Keikhlasan adalah tenangnya manusia dan gerak-geraknya karna Allah SWT semata-mata. Keikhlasan adalah pembersihan amal-amal dan kekuruhan-kekuruhan. Al-fadhail berkata,”Meninggalkan amal karna manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia syirik, sedangkan keikhlasan itu ialah bila Allah SWT membebaskannya dari kedua sifat itu”. Dikatakan bahwa keikhlasan itu ialah pengawasan yang terus menurus dan melupakan segala kenikmatan.[3]


Keutamaan dan Kepentingan Ikhlas

Semua orang akan rusak, kecuali yang yang berilmu. Dan semua orang yang berilmu akan rusak kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmu pun akan rusak, kecuali orang yang ikhlas. Dengan niat yang ikhlas, orang mukmin akan benar-benar menjadi hamba Allah, bukan hamba nafsu. Dengan ikhlas, ia akan terbebas dari segala penyembahan selain Allah SWT.[4]

Abu Sulaiman al-Darani, sebagaimana dikutip dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, berkata:”Apabila seseorang bisa ikhlas dalam beribadah, niscaya ia akan selamat dari godaan setan dan sikap riya’ (pamer).

Ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan dan pentingnya ikhlas: Ikhlas merupakan syaratbditerimanya amal ibadah seseorang. Allah berfirman:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.”[5]


Hal-hal yang Merusak Keikhlasan

Seseorang hendaknya selalu waspada terhadap munculnya sifat-sifat dan penyakit hati yang dapat menggerogoti keikhlasan dalam beribadah. Ia harus berusaha menjauhinya sehingga amal ibadahnya benar-benar murni karna Allah SWT.

Adapun hal-hal yang dapat merusak keikhlasan antara lain:

  • Bersikap riya’, yaitu memamerkan amal ibadah karna ingin mendapat pujian dari orang lain. Al-Qur’an mencela orang yang beribadah tapi suka pamer (riya’). Allah SWT berfirman:

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’.” (QS. Al-Ma’un:4-6)

  • Bersikap ‘ujub, yaitu mengagumi kehebatan ibadah dalam hati, meskipun hal itu tidak diceritakan kepadada orang lain. Sebagai contoh, seseorang telah dapat melakukan shalat berjama’ah atau tahajud dengan istiqamah. Lalu dalam hatinya muncul sifat ‘ujub. Dalam hatinya ia berkata:

“Ah, tida ada orang yang sehebat saya dalam hal shalat berjama’ah atau tahajud”. Orang tersebut lalu meremehkan orang lain yang tidak seperti dirinya. Itu namanya ‘ujub, yakni kagum dengan dirinya sendiri disertai sikap merasa lebih hebat dari orang lain.[6]


Referensi

[1] Dr.H.Abdul Mustaqim, M.A, Dimensi Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wancana Yogyakarta, 2007), cet.I, hlm 95-96.

[2] Ibid., hlm 96

[3] Imam Ghazali, Ringkasan Ihya’Ulumuddin, (Surabaya: BINTANG USAHA JAYA SURABAYA, 2004), cet.I, hlm 214.

[4] Dr.H.Abdul Mustaqim, M.A, Dimensi Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wancana Yogyakarta, 2007), cet.I, hlm 96.

[5] Dr.H.Abdul Mustaqim, M.A, Dimensi Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wancana Yogyakarta, 2007), cet.I, hlm 97.

[6] Ibid., hlm 103-105.