Berijtihad hanya diperuntukan kepada para ulama'

Berijtihad Hanya Diperuntukan Kepada Para Ulama’

Diposting pada

Berijtihad Hanya Diperuntukan Kepada Para Ulama’

Apakah boleh orang biasa berijtihad?

Apakah berijtihad hanya untuk para ulama’?

Apakah orang biasa harus taqlid?

dosenmuslim.com – Beberapa pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang di dasari atas kemunculan aliran-aliran baru yang melarang orang bertaqlid dan mewajibkan orang berijtihad sendiri. Padahal sesungguhnya berijtihad itu hanyya untuk para ulama’. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini website dosenmuslim.com akan memeberikan jawaban dan penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas.


Apa itu Ijtihad dan siapa mujtahid itu?

Ijtihad adalah mengeluarkan atau menggali hukum-hukum yang tidak ada nash atau dalil yang jelas. Sedangkan mujitahid (orangyang melakukan ijtihad) adalah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah orang yang hapal ayat-ayat ahkam, hadist-hadist ahkam serta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan kadar hapal pemaknaan-pemaknaan setiap nash/dalil sesuai dengan bahasa Al-Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang mereka perselisihkan. sebab jika tidak mengetahui hal ini, maka dimungkinkan ia menyalahi ijma’ (konsensus) para ulama’ sebelumnya.

Baca juga: Ijtihad sebagai kebutuhan

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada lagi satu syarat besar yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan diri berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.


Siapakah Muqallid itu?Berijtihad hanya diperuntukan kepada para ulama'

Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai pada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi atas dua tingkatan ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya:

“Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanku, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang menyampaikan akan tetapi tidak memiliki pemahaman.” (HR. Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bukti terdapat pada lafadz:

“Betapa banyak orang yang menyampaikan akan tetapi tidak memiliki pemahaman.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan.”

Bagian dari lafadz hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita, bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah SAW ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini dapat diketahui, bahwa sebagian sahabat Nabi SAW ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya.


Para Ulama hadits yang menulis karya-karya dalam musthalah al-hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam sahabat, menurut salah satu pendapat. Sebagaian ulama’ lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapai tingkatan mujtahid, dan ini pendapat yang shahih.

Jika keadaan para sahabat seperti itu adanya, maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca Al-Qur’an dan menelaah kitab berani berkata: “

“Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka.”

Padahal telah terbukti  dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama’ salaf buka mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada dikalangan mereka.

Baca juga: Keutamaah Bulan Muharram


Hikayat dari Shahih Bukhari

Dalam shahih Bukhari diriwayatkan bahwa ada seorang pekerja sewaan teah berzina dengan istri majikannya. Kemudian ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya kepada salah satu sahabat. Kemudian sahabat tersebut berkata: ” Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekaan) seorang budak perempuan.” Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, dan ahli ilmu tersebut menjawab: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun.”

Akhirnya sang ayah datang kepada Rasulullah SAW bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan istrinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab: “hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

“Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan kitabullah. Al-Walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak qashar, sekitar 78 KM) selama setahun.”

Lelaki tersebut sekalipun seorang sahabat tetapi ia bertanya kepada para sahabt lainnya dan jawaban mereka salah. lalu ia bertanya kepada para ulama dikalangan mereka hingga kemudian Rasulullah SAW memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka.

Dalam kejadian ini Rasulullah SAW memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi SAW, namun tidak semuanya memahaminya. Artinya, tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk megambil hukum dari hadits Nabi Muhammad SAW. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada orang lain sekalipun mereka memahami betul bahasa arab yang fasih. Dengan demikian,  sangat aneh orang-orang dizaman sekarang berani mengatakan:

“Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka.”

yang dimaksud mereka adalah adalah para ulama’ mujtahid seperti imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Iimam Ahmad bin Hanbal).

Baca juga: manfaat berijtihad


Kesimpulan

Maka dari itu, berhati-hatilah dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, pada mereka dan para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama.

Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang dimajlis-majlis yang biasa membagi-bagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama’. Orang-orang seperti adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama’ ushul fiqh. Sebab para ulama’ ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid.”


Dari Penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa Berijtihad Hanya Diperuntukan Kepada Para Ulama’ dan orang-orang biasa boleh taqlid (mengikuti para mujtahid) akan tetapi juga harus berusaha untuk mencari tahu akan dasar-dasarnya.