Cara Mengurus Jenazah/Mayat
Apabila ada seorang muslim meninggal, maka fardlu kifayah atas orang hidup menyelenggarakan 4 perkara[1]:
Memandikan Mayat
Air yang digunakan untuk mandi sebaiknya di campur dengan kapur barus atau wangi-wangian yang lain. Sebagaimana sabda Nabi SAW[2]:
عن ابن عباس ان اانبي ص م قال اذ وقع عن راحلته فمات اغسلوه بماء وسدر . (رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “tatkala seorang laki-laki jatuh dari kendaraannya lalu ia meninggal, sabda beliau: “mandikanlah dia dengan air serta daun bidara (atau dengan sesuatu yang menghilangkan daki seperti sabun).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di hadits lain dijelaskan juga yang mana artinya sebagai berikut:
Dari Umii Atiyah, “Nabi SAW telah masuk menemui kami sewaktu kami memandikan anak beliau yang perempuan, lalu beliau berkata: “Mandikanlah dia tiga kali, lima kali, atau lebih kalau kamu pandang baik lebih dari itu, dengan air serta daun bidara, dan basuhan yang penghabisan hendaklah dicampur dengan kapur barus.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan: “Mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota wudunya.”
Mengafani Mayat
Sedikitnya mengafani mayat yaitu pakaian satu yang sudah mencukupi. Sempurnanya bagi orang laki-laki 3 lapis kain, bagi perempuan satu baju, satu kerudung, satu sarung, dan dua lapis kain.[3]
Diriwayatkan yang artinya senagai berikut:
“Dari Aisyah, “Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas kapas (katun), tanpa memakai gamis san surban.” (Mutafaqun ‘alaih)
Hadits lain berbunyi sebgai berikut yang artinya:
Dari laila binti Qanif ia berkata: “Saya salah seorang yang turut memandikan Ummi Kulsum binti Rasulullah SAW. ketika ia wafat. Yang pertama-tama diberikan oleh Rasulullah SAW kepada kami ialah kain basahan, kemudian baju, tutup kepala, lalu kerudung, dan sesudah itu dimasukkan ke dalam kain yang lain (yang menutupi seluruh badanya).” Kata laila: “Sedangkan Nabi SAW berdiri di tengah pintu membawa kafannya, dan memberikannya kepada kami sehelai demi sehelai.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[4]
Dan kain kafan itu sebaiknya berwarna putih. Sabda Nabi SAW:
البسوا من ثيابكم البياض فانها خير ثيابكم وكفنوا فيها موتاكم. رواه الترمذي وغيره
“Pakailah olehmu kain putihmu, karena sesungguhnya kain putih itu sebaik-baik kainmu dan kafanilah mayatmu dengan kain putih itu. (HR. At-Turmudzi dan lain-lain)[5]
Menyalatkan Mayat
Sabda Nabi SAW:
صلوا على موتاكم . رواه ابن مجه
“Shalatkanlah olehmu orang-orang yang mati.” (HR. Ibnu Majah)
Rukun-rukun shalat jenazah itu ada 7 yaitu: Niat, membaca takbir empat kali, berdiri bagi yang mampu, membaca surat al-Fatihah, membaca shalawat pada Nabi SAW sesudah takbir kedua, mendoakan mayat sesudah takbir ketiga, dan salam.[6]
Menguburkan Mayat
ada sebuah riwayat sebagai berikut yang artinya:
“Dari Amir bin Sa’d, ia berkata: “buatkan olehmu lubang lahad untukku, dan pasanglah di atasku batu bata, sebagaimana dibuat pada kuburan Rasulullah SAW.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Cara mengubur mayat sedikitnya yaitu satu galian yang bisa menyimpan bau mayat, dan menjaga mayat dari binatang buas. Sempurnanya yaitu sedalam orang berdiri dengan tangannya terulur ke atas, dan pipinya mayat harus diletakkan di atas debu (tanah). Dan wajib dihadapkan ke kiblat.[7]
- Setelah pemakaman berlangsung, biasanya para jama’ah tidak langsung pulang karena masih ada amalan yang harus di kerjakan setelah pemakaman, yaitu berdoa dan membaca talqin untuk mayit.[8]
Berada di kuburan setelah pemakaman ini tidak sekedar berdiam diri saja, namun juga berdo’a meminta keteguhan iman, khususnya saat di datangi malaikat. Dalam hadits di tegaskan:[9]
كان النبي ص م اذا فرغ من دفن الميّت وقف عليه، وقال استغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت فانه الان يسأل. (رواه أبو داود)
“Jika Nabi SAW selesai memakamkan mayit, maka Nabi SAW berdiri di atas kuburnya dan bersabda: “Mintakan ampunan untuk saudaramu dan mintakan keteguhan (iman), sebab sekarang ia ditanya.” (HR. Bu Dawud)
Di lingkungan nahdliyin, setelah jenazah dimakamkan juga dilanjutkan dengan talqin. Berkenaan perdebatan mengenai shahih tidaknya hadits tentang talqin, ahli hadits al-‘Ajuni berkata:[10]
قوّاه الضياء في احكامه ثم الحافظ ابن حجر ايضا بما له من الشواهد ونسب الامام احمد العمل به لاهل الشام وابن العربي لاهل المدينة وغيرهما لقرطبة. (كشف الخفاء للمحدث العجلوني 1 / 316)
Hadits talqin ini dikuatkan oleh ad-Dliya’ dalam kitab al-Ahkam, juga dikuatkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar berdasarkan dalil-dalil penguat. Imam Ahmad menisbatkan amaliah talqin dilakukan oleh ulama’ Syam, Ibnu al-Arabi menisbatkannya pada ulama’ Madinah, yang lainnya menisbatkannya pada ulama’ Cordoba (Spanyol). (Kasyf al-Khafa’: 1/316)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebut riwayat dari tabi’in sebagai penguat dalil talqin yang artinya:
“Diriwayatkan dari Dlamrah bin Habib, salah satu tabi’in, ia berkata: “Mereka (tabi’in atau shahabat) tatkala tanah mayit sudah diratakan dan sebelum orang-orang meninggalkannya, gemar untuk mengucapkan di dekat kuburnya: “Wahai Fulan, katakan tiada Tuhan selain Allah 3 kali. Wahai Fulan, katakan Allah Tuhanku, islam agamaku dan Muhammad Nabiku.” (Diriwayatkan oleh Said bin Masyhur secara mauquf)
Imam Ahmad bin Hanbal juga menegaskan bahwa talqin sudah dilakukan para ulama’ terdahulu. penegasan talqin oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
“Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: (talqin) ini dilakukan oleh mereka ketika mayit sudah dikubur, lalu ada yang berdiri: “Wahai Fuloan bin Fulanah.” Ahmad menjawab: “Saya tidak melihat seseorang yan melakukannya, kecuali penduduk Syam ketika Abu al-Mughirah meniggal. Hal ini diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Maryam, dari guru-guru mereka bahwa mereka mengamalkannya.” (al-Hafidz Ibnu Hajar, Talkhish al-Habir: II/397)[11]
REFERENSI
[1] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 70. Hlm.164.
[2] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 70. Hlm.165.
[3] Al-Hadhrami, Salim bin Smeer. Sunarto, Ahmad (penerjemah). Terjemah Safinatun Naja. Surabaya: al-Miftah. Hlm.90.
[4] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 70. Hlm.168.
[5] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 70. Hlm.169.
[6] Salim bin Smeer al Hadhrami. Sunarto, Ahmad (penerjemah). Terjemah Safinatun Naja. Surabaya: al-Miftah. Hlm. 91.
[7] Salim bin Smeer al Hadhrami. Sunarto, Ahmad (penerjemah). Terjemah Safinatun Naja. Surabaya: al-Miftah. Hlm.95.
[8] Khozin, Muhammad Ma’ruf, Fikih Jenazah An-Nahdliyah, Surabaya: Muara Progresif, cet. 1, 2015, hal. 75.
[9] Khozin, Muhammad Ma’ruf, Fikih Jenazah An-Nahdliyah, Surabaya: Muara Progresif, cet. 1, 2015, hal. 76.
[10] Khozin, Muhammad Ma’ruf, Fikih Jenazah An-Nahdliyah, Surabaya: Muara Progresif, cet. 1, 2015, hal. 77.
[11] Khozin, Muhammad Ma’ruf, Fikih Jenazah An-Nahdliyah, Surabaya: Muara Progresif, cet. 1, 2015, hal. 78.