Hak dan Kewajiban Suami Istri

Diposting pada

Hak-hak dan kewajiban suami-istri

Dalam perkawinan suami memikul tanggung jawab yang luhur dan seimbang dalam kedudukan hukum. Suami bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga dan istri bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan syara’ dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya apabila salah satu di antara mereka melupakan hak dan kewajibannya, maka dapat dimintakan gugatan pengadilan wilayah hukum masing-masing untuk menuntut hak-hak yang ia miliki.[1]

Suami sebagai kepala keluarga wajin memberikan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Ibu sebagai ibu rumah tangga berkewajiban ta’at kepada suami, mencintai, menghormati, saling tolong-menolong dalam suka dan duka. Hak dan kewajiban suami istri menyangkut kewajiban yang bersifat lahiriyah dan bathiniyah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 233, yang berbunyi;

لمن اراد أن يتمّ الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسونهنّ بالمعروف، لا تكلف نفس الّا وسعها

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya. (Q.S. Al-Baqarah: 233)[2]


Hak-hak dan kewajiban suami-istri dapat dibagi menjadi empat bagian pokok, yaitu:

Nafkah

  1. Pengertian Nafkah

المقصود بالنفقة هنا توفير ما يحتاج اليه الزوجه من طعام وكسوة ومسكن وخذمة ودواء وانكانت غنيته

Artinya: “yang dimaksud nafkah disini adalah menyediakan secara cukup apa yang dibutuhkan oleh istri baik berupa makanan, pakaian, tempat kediaman, pelayanan, obat-obatan, walaupun istri itu orang yang mampu.”

Atau dapat dengan pengertian lain, nafkah adalah kebutuhan lahir batin harus diberikan suami kepada istri dan anak-anaknya.[3]

Dalam hal ini Sayyid Sabiq mengatakan bahwa syarat seorang istri yang mendapatkan nafkah dari suaminya ialah sebagai berikut;

  • Apabila akad nikahnya sah.
  • Istri menyerahkan diri kepada suami.
  • Istri memberi kesempatan suami untuk menikmati dirinya.
  • Istri tidak menolak untuk pindah tempat yang dikehendaki suami.
  • Suami dan istri mampu melakukan hubungan seksual.[4]
  1. Dasar Hukum Nafkah

Kewajiban suami istri dapat diartika sebagai suatu kewajiban timbal-balik, artinya apa yang menjadi kewajiban suami menjadi hak istri, begitu juga dengan sebaliknya.

Adapun dasar hukum nafkah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, antara lain, yaitu:

لمن اراد أن يتمّ الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسونهنّ بالمعروف، لا تكلف نفس الّا وسعها

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya. (Q.S. Al-Baqarah: 233)

اسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّ لتضيقوا عليهنّ

Artinya: “tempatkaanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuan dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. (Q.S. At-Thalaq: 6)[5]

  1. Sebab-sebab Wajibnya Nafkah

Sayyid Abu Bakar mengatakan bahwa wajibnya nafkah itu disebabkan karena;

انّ لنفقة ثلاث اسباب الزوجه والقرابة والملك

Artinya: “Bahwa adanya kewajiban nafkah itu karena tiga sebab, yaitu karena hubungan perkawinan, karena kerabat, dan karena kepemilikan.”[6]

Dalam hubungan suami istri satu sama lain mempunyai hak dan kewajiban yang haarus ditunaikan. Hal ini berkaaitan dengan Hadits Rasulullah SAW, yang artinya:

“Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah mengenai wanita, karena kamu mengambil mereka dengan kalimat Allah dan kamu halalkan kehormatan mereka karena juga dengan kalimat Allah, dan kamu mempunayi hak yang harus mereka penuhi, yaitu bahwa kamu tidak mengizinkan seseorangpun yang tidak kamu sukai untuk menginjak ruangan dalam rumahmu. Dan seandainya mereka malakukannya, maka pukulah mereka tetapi tidak keras. Sebaliknya mereka juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi, yaitu memberi mereka makanan dan pakaian secara ma’ruf.” (HR. Muslim)[7]

Adapun hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah adalah sebagai berikut;

  • Bila nikahnya tidak sah, karena kurang memenuhi syarat dan rukunnya.
  • Bila istri masih kecil, sehingga tidak mampu untuk digauli suaminya.
  • Bila istri pindah ketempat lain tanpa ijin atau menolak untuk pindah ketempat yang dikehendaki suaminya.
  • Istri nuzus (pergi tanpa seizing suaminya)
  • Apabila istri menolak melayani suaminya dengan jalan melakukan ibadah sunnat, seperti puasa sunnat, i’tikaf, dan lain-lain. Berdasarkan kaidah fiqiyah yang berbunyi:

الواجب لايترك الّا الواجب وللعلماء عبارة اخر – الواجب لابترك لسنة

Artinya: “sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan karena sesuatu wajib yang lain; sesuatu tidak boleh ditinggalkan karena hal yang sunnat.”[8]

  1. Ukuran Besarnya Nafkah

Tentang besarnya nafkah yang harus diberikan suami kepada istri tidak ada ketentuan yang tegas menurut nash. Dalam Al-Qur’an hanya dijelaskan dengan cara yang ma’ruf dan manurut kemampuan. Ini menurut pendapat golongan hanafi menjelaskan kadar besarnya nafkah itu tidak ada ketentuan. Pokoknya suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya dan segala keperluan hidup menurut kebiasaan yang berlaku. Berdasarkan firman Allah SWT;

لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممّا ءاته الله، لا يكلف الله نفسا الّا ما ءاتها

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizqinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (At-Thalaq: 7)[9]

Adapun Imam Syafi’i berpendapat apabila suami mampu atas harta atau pekerjaan, maka wajib baginya dua mud setiap hari, bila suami miskin maka ia wajib memberikan nafkah satu mud setiap hari. Bagi mereka yang berada di antara mampu dan tidak mampu, maka ia wajib memberikan nafkah satu setengah mud.

Adapun alasannya ialah sama dengan alasan yang dipakai oleh pendapat golongan haanafi, yaitu Q.S. Surat At-Thalaq ayat 7.[10]


Hidhonah (pemeliharaan anak)

  1. Pengertian Hidhonah

Yang dimaksud dengan perkataan hidhonah di sini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal terhadap anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.[11]

Sedangkan Menurut ahli fiqh “hidhonah” ialah memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.[12]

Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang mumayiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih beerhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.

Seseorang telah datang mengadu kepada Rasulullah SAW perempuan itu berkata; “Saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak saya akan diceraikannya dari saya.”

Sabda Rasulullah SAW kepada perempuan itu;

انت احقّ به ما لم تنكحي. رواه ابو داوود والحاكم

“Engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engaku belum menikah dengan orang lain.” (H.R. Abu Dawud dan Hakim)

Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah anak itu disuruh memilih siapa di antara keduanya yang lebih ia sukai.

Sebagaimana Nabi SAW bersabda, yang artinya;

“Bahwasannya Nabi Muhammad SAW telah menyuruh seorang anak yang sudah sedikit mengerti untuk memilih tinggal bersama bapaknya atau ibunya.” (H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi)[13]

  1. Syarat-syarat menjadi pendidik

Syarat-syarat pendidik, di antaranya yaitu;

  1. Berakal
  2. Merdeka
  3. Menjalankan agam
  4. Dapat menjaga kehormatan dirinya
  5. Orang yang dipercaya
  6. Orang yang menetap di dalam negeri anak yang dididiknya.
  7. Keadaan perempuan tidak bersuami; kecuali kalau ia bersuami dengan keluarga dari anak yang memang berhak pula untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap.[14]

Menyusukan anak

Penyusuan anak adalah salah satu dari kewajiban ibu terhadap anak. Berdasarkan firmaan Allah SWT, yang artinya;

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya. Janganlah ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kami ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut cara yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketauhilah bahawa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233).

Ayat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

  1. Seorang ayah berhak memberi nafkah kepada anaknya. Dan susu adalah termasuk minuman yang dibutuhkan oleh anak dan termasuk bagian dari nafkah yang harus disediakan oleh ayahnya.
  2. Kewajiban ibu menyusui anaknya yang masih kecil adalah berdasarkan kemampuan. Artinya selama air susunya masih ada. Dan wajib mencarikan gantinya bila diperlukan.
  3. Ibu tidak dapat dipaksa untuk menyusuhkan anaknya apabila ia tidak ada kemampuan melakukannya.
  4. Ibu adalah orang yang paling berhak menyusui anaknya apabila ia mampu melakukannya daripada perempuan lainnya.
  5. Apabila ibu yang masih terikat oleh tali perkawinan dengan bapak anaknya, atau dalam masa iddah karena ditalak oleh bapaknya anak, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah semata karena ia menyusui.
  6. Ibu hanya berhak mendapatkan upah menyusui selama satu tahun. Kecuali bila ada perjanjian yang disetujui dua tahun ia memperoleh upah susuan.
  7. Seandainya ibu menggunakan uangnya sendiri atau meminjam uang untuk keperluan penyusuan anaknya, maka suamilah yang menanggung hutangnya tersebut atau pembayarannya. Sebab sama hukumnya dengan pembayaran hutang nafkah.
  8. Biaya susuan termasuk biaya nafkah.
  9. Jika ibu mogok/enggan menyusui, ayah berkewajiban mencarikan yang lain untuk keperluan penyusuan anaknya.
  10. Ibu susuan tidak dapat dipaksa untuk memperpanjang masa penyusuan, kecuali kalau si anak tidak mau menyusu kepada orang lain atau tidak ada orang lain yang akan menyusukannya.[15]

Pergaulan suami istri

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, dan melanjutkan keturunan, melabuhkan benih kasih sayang yang abadi yang penh dengan rahmah dan mawaddah.

Suami mempunayi kewajiban memberi nafkah batin, dan istri berhak untuk memperolehnya. Suami dalam menggauli atau menyetubuhi istrinya harus dengan cara yang baik, sebagaimana Allah berfriman;

وعاشروهنّ بالمعروف، فان كرهتموهنّ فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا (19)

Artinya: dan bergaullah dengan mereka secara baik/patut. Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An-Nisa’: 19)

Maka dalam hal ini istri tidak boleh menolak ketika diajak bersetubuh dengan suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits yang artinya;

“Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda, jika seorang suami memanggil istrinya untuk tidur diranjang, maka istinya menolak, hingga bermalam suaminya marah kepadanya, maka dilaknat istri itu oleh Malaikat hingga pagi. (HR. Bukhari dan Muslim).[16]


[1] Muslich Ks., Romantika Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Navila, 2009), hal. 73.
[2] Ibid. hal. 74.
[3] Ibid. hal. 75 – 76.
[4] Ibid. hal. 76.
[5] Ibid. hal. 76 – 77.
[6] Ibid. hal. 78.
[7] Ibid. hal. 78 – 79.
[8] Ibid. hal. 80.
[9] Ibid. hal. 80 – 81.
[10] Ibid. hal. 81.
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), cet. ke-70, hal 426.
[12] Muslich Ks., Romantika Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Navila, 2009), hal. 82.
[13] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), cet. ke-70, hal 426 – 427.
[14] Ibid. hal 427 – 428.
[15] Muslich Ks., Romantika Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Navila, 2009), hal. 85 – 87.
[16] Ibid. Hal. 87 – 88.