Pengertian Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa arab bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata رجع- يرجع- رجوع yang maknanya kembali. Dalam istilah fiqh rujuk berarti kembali kepada ikatan pernikahan dari talak raj’i yang dilakukan dalam masa iddah dengan cara-cara tertentu. Rujuk dikatakan sebagian kembali kepada ikatan pernikahan karena rujuk bukan pernikahan baru tetapi melanjutkan ikatan pernikahan lama yang sempat terputus. Rujuk tidak memerlukan akad nikah baru karena akad nikah lama belum terputus selagi belum habis masa iddah. Istri yang ditalak dengan talak satu atau dua setelah habis masa iddahnya tidak dapat rujuk lagi kecuali melakukan akad nikah baru karena sudah jatuh talak bain, seperti diterangkan dalam bab sebelumnya.
عن بن عمر رضي الله عنهما أنّه لمّا طلق امرأته قال النبي ص.م لعمر: مره فليراجعها. (متفق عليه)
Artinya: Dari Ibnu Umar ra diriwayatkan katika ia menceraikan istrinya, Nabi SAW bersabda kepada Umar (ayah Ibnu Umar) suruhlah ia merujuk istrinya. (mutafaqun ‘alaih).[1]
Hukum rujuk
Hukum rujuk ada beberapa macam, yaitu:
- Haram, apabila rujuknya itu menyakiti sang istri.
- Makruh, jika perceraiannya itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami istri).
- Jaiz (boleh), dan ini adalah hukum rujuk yang asli.
- Sunat, jika dengan itu suami bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya, atau rujuk itu lebig berfaedah bagi keduanya.[2]
- Di dalam LKS fiqh kelas 11 tahun 2011/2012 ada tambahan hukum mengenai rujuk yaitu wajib khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu jika salah seorang mentalak sebelum gilirannya disempurnakan. (DEPAG: 2002, hal 323-354)[3]
Rukun dan Syarat Rujuk[4]
1. Istri
Keadaan istri disyaratkan:
- Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, maka putuslah pertalian nikah antara keduannya, sebab si istri tidak mempunyai iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.
- Istri yang tertentu. Kalau suami mentalak beberapa istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujuknya, maka rujuknya itu tidak sah.
- Talaknya adalah talak raj’i. Jika istri ditalak dengan talak ba’in atau talak tiga, maka ia tidak dapat dirujuk.
- Rujuk itu terjadi pada waktu istri tengah menjalani masa iddah. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Allah SWT telah berfirman:
وَبُعُوْ لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذلك اِنْ أَرَادُوْا اِصْلَاحًا. (البقرة: 228)
“Dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti itu.” (QS. Al-Baqarah: 228)
2. Suami
Rujuk ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri, artinya bukan atas
paksaan dari pihak lain.
3. Sighat (Lafaz Rujuk)
Sighat itu ada dua macam:
- Terus terang, misalnya dikatakan, “Aku kembali kepadamu,” atau “Aku rujuk kepadamu.”
- Dengan kata kiasan, misalnya “Aku pegang kamu.” Atau “Aku nikahi kamu.” Dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau untuk lainnya.
Sebaiknya sighat ini merupakan ucapan tunai, dengan pengertian tidak digantungkan dengan sesuatu. Misalnya, “Aku kembali kepadamu jika kamu suka, “Aku akan kembali kepadamu kalau si Fulan datang.” Karena, rujuk yang digantungkan seperti itu tidak sah.
4. Saksi
Dalam hal ini para ulama’ masih berbeda pendapat, apakah saksi itu menjadi rukun atau sunat. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunat. Berkenaan dengan hal tersebut Allah SWT berfirman:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ. (الطلاق: 2)
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS. Ath-Thalaq: 2)
Dalam kitab Taisirul Bayan, al-Marza’i mengemukakan, “orang-orang yang telah sepakat bahwa talak tanpa mengahdirkan saksi itu boleh. Sedangkan rujuk sendiri lebih cendrung sama dengan talak, karena ia merupakan mitranya, sehingga tidak ada kewajiban untuk menghadirkan kesaksian. Hal itu karena rujuk merupakan hak suami dan tidak ada kewajiban baginya menghadirkan saksi. Dan selain itu, terkandung juga pengertian yang mengharuskan adanya saksi , sebagaimana yang terkandung dalam dhahirnya khithab.[5]
Menghadirkan saksi dalam rujuk merupakan suatu yang sudah jelas, jika rujuk itu dilakukan melalui ucapan yang jelas . para ulama’ sepakat jika ruju’ itu dilakukan dengan cara lisan. Tetapi mereka masih berbeda pendapat tentang jika rujuk itu dilakukan dalam bentuk perbuatan. Berkenaan dengan hal tersebut Imam Syafi’i dan Imam Yahya mengatakan, “ sesungguhnya rujuk berupa perbuatan itu haram. Karena Allah telah menyebutkan perlunya kesaksian, dan kesaksian itu tidak dapat diberikan kecuali pada ucapan.” Dan bahwa tidak ada dosa baginya, karena Allah SWT telah berfirman, “kecuali kepada istri-istri mereka.” Sedangkan kesaksian itu, sebagaimana yang telah kami sampaikan, buka suatu yang wajib.[6]
Perbedaan pendapat itu terus berkembang hingga akhirnya muncul pertanyaan, jika istrinya itu menikah lagi dengan laki-laki lain sebelum ia mengetahui bahwa suaminya yang pertama telah merujuknya kembali. Berkenaan dengan hal itu, para ulama’ terdahulu mengatakan, “Pernikahan yang kedua itu batal (tidak sah), dan ia masih tetap menjadi istri laki-laki yang merujuknya tersebut.” Hal itu berdasarkan ijma’ ulama’ yang menyatakan bahwa rujuk itu tetap sah meskipun istrinya tidak mengetahuinya. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa suami yang pertama lebih berhak atas dirinya sebelum ia menikah.[7]
Sedangkan ungkapan jumhur ulama’ itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Samurah bin Jundab, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أَيُمَا مْرَأَةٍ تَوَّجَهَا اثْنَانِ فَهِيَ لِلْاَوَّلِ مِنْهُمَا. (رواه الترمذي)
“Wanita mana saja yang dinikahi oleh dua orang laki-laki, maka ia milik laki-laki yang lebih dulu (pertama).” (HR. Turmidzi).[8]
[1] LKS Fiqh Madrasah Aliyah kelas 11 tahun 2011/2012 (KTSP), hal: 19
[2] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 327
[3] LKS Fiqh Madrasah Aliyah kelas 11 tahun 2011/2012 (KTSP), hal: 19
[4] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 327
[5] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 330
[6] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 330
[7] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 331
[8] Ayyub Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Cet. Ke 5. Hlm. 332