Pengertian Talak
Talak artinya melepaskan ikatan. Dalam hubungannya dengan ketentuan hukum perkawinan, talak berarti lepasnya ikatan pernikahan dengan ucapan talak atau lafal lain yang maksudnya sama dengan talak. Talak adalah hak suami. Artinya istri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan pernikahan kalau tidak dijatuhi talak oleh suaminya.[1]
Hukum Talak
Menurut asalnya hukum talak itu makruh adanya, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. Berikut ini:
عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أبغض الحلال الى الله الطّلاق. (رواه أبو داود وابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Oleh karena itu, dengan melihat kemaslahatan atau kemadharatannya, maka hukum talak ada empat:
- Wajib, Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
- Sunnah, Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
روى أنّ رجلا أتى النبىّ صلّى الله عليه وسلّم فقال انّ امرأتي لاتردّ يد لامس فقال النبىّ صلى الله عليه وسلّم طلّقها. المهذب جزء 2
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. Dia berkata, “Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Jawab Rasulullah SAW, “Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu.” (Dari Muhadzab, jus II. Hlm. 78)
- Haram dalam dua keadaan. Pertama menjatuhkan talak sewaktu si istri dalm keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalm waktu suci itu.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian ia haid kembali, kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki , boleh ia teruskan pernikahan sebagaimana yang lalu atau jika menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu.” (Mutafaqun ‘alaih)
- Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang telah tersebut di atas.[2]
Rukun talak ada tiga yaitu suami, istri dan ucapan talak sebagaimana ulama ada yang menambah satu lagi yaitu saksi. Syarat masing-masing rukun tersebut adalah sebagai berikut:
1. Suami (yang menjatuhkan talak)
- Ada ikatan pernikahan yang sah dengan istrinya
- Baligh (dewasa)
- Berakal
- Tidak dipaksa (keingnan sendiri)
- Mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan suami yang menjatuhkan talak
- Masih dalam masa iddah talak raj’i yang di jatuhkan sebelumnya
Lafal yang digunakan dalam talak ini meliputi ucapan yang keluar dari suami dengan ucapan, tulisan atau syarat:
- Sarih (tegas) yatiu kata-kata yang tidak dapat diartikan lain keculai talak. Misalnya, engkau sudah berpisah dengan saya dan sebagainya. Talak dengan ucapan kata-kata yang tegas seperti di atas tidak memerlukan niat.
- Kinayah (sindiran) yaitukata-kata kalimat yang dapat berarti talak dapat pula berarti lain. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya:
“Pulanglah engkau ke rumah orangtuamu! Talak dengan kata-kata sindirian semacam ini memerlukan niat. Jadi jika memang suami dengan mengungkapkan kata-kata itu di dalam hatinya berniat mencari, maka jatuhlah talak tetapi jika suami tidak berniat mencerai istrinya tidaklah jatuh talak bagi istrinya.
- Talak dengan tulisan dapat dijatuhkan juga dengan tulisan walaupun suami dapat berbicara. Disinipun ada dua macam yaitu tulisan yang tegas yaitu tertentu maknanya serta jelas alamat yang dituju dan tulisan yang tidak tertentu maknanya atau tidak jelas alamat yang dituju. Tulisan yang tegas tidak memerlukan niat. Tetapi tulisan yang tidak tegas memerlukan niat.
- Talak dengan syarat hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat berbicara (bisu) dan tidak dapat membaca dan menulis. Isyarat adalah gerakan yang mengandung makna pengganti ucapan bagi orang yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.
Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa saksi tidak diperlukan dalam menjatuhkan talak karena talak adalah hak suami. Sebagian ulama’ berpendapat wajib adanya saksi dalam menjatuhkan talak.[3]
Macam-mcam Talak
Talak dilihat dari segi bilangan talak yang dijatuhkan atau dari segi cara terjadinya perceraian atau dari segi keadaan istri yang ditalak, kita melihat adanya dua macam talak, yaitu talak raj’i dan talak bain.
Talak raj’i ialah talak yang masih memungkinkan suami rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama dan kedua yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sudah pernah dicampuri dan bukan atas permintaan istri yang disertai uang tebusan (iwad), selama masih dalam masa idah adalah talak raj’i.
Talak bain ialah talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada bekas istri, keculai dengan melakukan akad nikah baru. Talak bain ada dua macam yaitu bain kecil dan bain besar.
Talak bain kecil ialah talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan pembayaran tebusan (iwad) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli buka atas permintaan dan tanpa pembayaran iwad, setelah habis masa idahnya.
Talak bain besar ialah talak yang telah dijatuhkan tiga. Suami yang telah menjatuhkan talak tiga kali tidak boleh ruju’ kepada bekas istrinya, kecuali setelah bekas istrinya itu melakukan perkawinan dengn laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suami yang baru itu, kemudian terjadi perceraian. Dalam perceraian dari suami yang baru itu tidak boleh direncanakan sebelumnya. Dengan kata lain, suami yang telah terlanjur menjatukan talak sampai tiga kali terhadap istri, tiba-tiba menyesal, tidak boleh minta kepada seseorang untuk mengawini bekas istrinya itu, dengan permintaan setelah berlalu beberapa waktu dan setelah terjadi persetubuhan supaya menceraikan istrinya, guna memungkinkan kawin lagi dengan suami pertama itu. Dalam hubungan ini hadis Nabi riwayatAhmad, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ali memperingatkan, “Allah mengutuk laki-laki muhallil (mengawini perempuan untuk menghalalkan perkawinan kembali dengan bekas suaminya lama) dan laki-laki yang menyuruh orang lain kawin sebagai muhallilnya.”[4]
Referensi
[1] LKS Fiqh Madrasah Aliyah kelas 11 tahun 2011/2012 (KTSP), hal: 12
[2] Rasjid Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, hal. 401
[3] LKS Fiqh Madrasah Aliyah kelas 11 tahun 2011/2012 (KTSP), hal: 12
[4] Basyir Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 80