Pendahuluan
Apabila Al-Quran sepenuhnya adalah wahyu dari Allah SWT, maka sunnah berasal dari Nabi Muhammad SAW. Al-Quran dan As-Sunnah adalah sumber asasi Islam. Sunnah biasanya disebut juga dengan hadis. Hadis adalah keterangan-keterangan dari Rasulullah yang sampai kepada kita. hadits ada yang mutawatir dan ahad. Hadis juga merupakan sumber rujukan kedua umat Islam yang dijadikan landasan hukum setelah al-Qur’an, baik secara struktural maupun fungsional. Karena dengan adanya hadits ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik.
Hadist dapat dilihat atau ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi kualitas dan kuantitasnya. Jika hadist dilihat dari segi kuantitas atau dilihat dari segi riwayat yaitu penyampaian secara lisan sesuatu keterangan dari Rasulullah maka menjadilah hadis yang mempunyai kualitas bertingkat-tingkat, ada yang kuat ada yang lemah.
Sedangkan dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan orang-orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang pula hanya dengan satu atau dua orang saja, dan hadits tersebutlah yang kemudian dikenal dengan hadits ditinjau dari kuantitasnya. Oleh sebab itu, pada pembahasan kali ini, penulis ini mengkaji tentang hadits ditinjau dari kuantitasnya.
Heni Ekawati, S.Pd
(19204010118)
Kelas A1 PAI S2Mahasiswa Pascasarjana
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Pascasarjana UIN Sunan KalijagaArtikel ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadits dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pengampu: Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd
Hadits Ditinjau dari Kuantitasnya
Ditinjau dari segi kuantitas atau dari segi jumlah kuantitasnya dari berberapa Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ini, di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan Ahad, yang membagi hadist menjadi dua ini, memasukan hadist Masyhur ke dalam Hadist Ahad yang diikuti kebanyakan ulama kalam. Menurut mereka, hadis Masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi bagian dari hadis Ahad.
Sedangkan yang menjelaskan bahwa Hadist Masyhur itu dapat berdiri sendiri adalah pendapat dari sebagian Ulama Ushul. Dan menurut ulama Hadis juga, hadist dari segi kuantitas ini cukup dibagi menjadi dua saja. Yakni Mutawatir dan Ahad. Demikian juga yang telah dikatakan oleh Syuhudi Ismail. Sehingga pada garis besarnya hadis dibagi menjadi 2 macam, yakni Mutawatir dan Ahad. Inilah pembagian yang lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis Ahad.[1]
Baca juga : Sejarah Kodifikasi (pembukuan) Hadits
1. Hadits Mutawatir
Hadits ditinjau kuantitasnya berjumlah 2, yaitu mutawatir dan ahad. Menurut ulama hadits, mutawatir mempunyai pengertian sebagai berikut:
ﻣﺎ رواﻩ ﺟﻤﻊ ﺗﺤﻴﻞ اﻟﻌﺎدة ﺗﻮﻃﺌﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب
Artinya : “Hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta.”
Sedangkan Imam Nawawi mengemukakan definisi dari hadist mutawatir, yaitu “hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya”
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya hadist mutawatir adalah hadist yang memiliki sanad yang pada tingkatanya terdiri atas perawi dengan jumlah yang banyak yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadist yang sudah mereka riwayatkan.[2]
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Hadits dapat mencapai derajat mutawatir itu harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama hadits. Di bawah ini merupakan syarat-syarat hadits dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir, di antaranya sebagai berikut:
- Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
- Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Artinya perawi pada setiap tingkatan harus sama jumlahnya.
- Berdasarkan tanggapan pancaindra: Harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Biasanya menggunakan lafadz: “Kami telah mendengar ( ﺳﻤﻌﻨﺎ )”, atau “Kami telah melihat ( راﻳﻨﺎ )”. [3]
Macam-macam Hadits Mutawatir
- Hadits Mutawatir Lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang dalam periwayatannya menggunakan lafadz yang sama. Sehingga para ulama mengatakan, bahwa hadits mutawatir lafdzi merupakan hadist yang dalam periwayatannya antara lafadz dan maknanya sama. Artinya antara perawi satu dengan yang lainnya tidak ada perbedaan lafadz dalam meriwayatkannya. Contoh hadits tersebut adalah sebagai berikut yang artinya:
“Barang siapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja maka berarti ia menyediakan tempatnya dineraka.” (Hadist ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat dengan lafadz yang sama). - Hadits Mutawatir Maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah hadist yang dalam periwayatan hanya maknanya saja yang sama. Jadi dalam hadits ini antara perawi satu dengan yang lainnya dalam meriwayatkan hadits menggunakan lafadz yang berbeda, akan tetapi masih dalam satu makna. Contoh hadist tersebut adalah sebagai berikut yang artinya:
Hadist yang membahas tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. telah diriwayatkan lebih dari seratus hadist mengenai mengankat tangan ketika berdo’a namun dengan lafalz yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Masing-masing lafazd hadist tersebut tidak sampai kederajat mutawatir tetapi makna dari keseluruhan lafaldz-lafaldz tersebut mengacu atau menuju dalam satu makna sehingga secara ma’nawi, hadist tersebut adalah mutawatir.[4]
2. Hadits Ahad
Hadits ditinjau kuantitasnya berjumlah 2, yaitu mutawatir dan ahad. Hadist ahad adalah hadist yang telah diriwayatkan oleh satu orang saja. Dan definisi hadist ahad oleh para ulam sebagai berikut:
ﻣﺎﻟﻢ ﺗﺒﻠﻎ ﻧﻘﻠﺘﻪ ﻓﻰ اﻟ ﻜﺜﺮة ﻣﺒﻠﻎ اﻟﺨﺒﺮ اﻟﻤﺘﻮاﺗﺮ ﺳﻮاء آﺎن اﻟﻤﺨﺒﺮ واﺣﺪا او إﺛﻨﻴﻦ أو ﺛﻼث أو أرﺑﻌﺔ أو ﺧﻤﺴﺔ أو اﻟﻰ ﻏﻴﺮ ذاﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﻋﺪاد اﻟﺘﻰ ﻻ ﺗﺸﻌﺮ ﺑﺄّن اﻟﺨﺒ ﺮ اﻟﻤﺘﻮاﺗﺮ
Artinya: “Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai jumlah perawi Hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidakmemberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi Hadits mutawatir.”[5]
Dan ada pula yang medefinisakan bahwa hadist ahad adalah “Hadist yang tidak memenuhi syarat mutawatir” pendapat tersebut menurut ilmu hadist.[6]
Sedangkan Hadist Ahad secara garis besar oleh ulama-ulama hadits dibagi menjadi dua macam, yaitu hadist masyhur dan hadist ghairu masyhur. Ghairu masyhur terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hadist aziz dan hadist gharib.
1. Hadist Mashyur
Menurut bahasa “muntasyir” yang berarti sesuatu yang sudah tersebar, dan yang sudah popular. Sedangkan menurut ulama ahli Hadist yaitu : yang berarti sesuatu yang sudah tersebar, sudah popular.
ﻣﺎ ﻟﻪ ﻃﺮف ﻣﺤﺼﻮرة ﺑﺄآﺜﺮ ﻣﻦ إﺛﻨﻴﻦ وﻟﻢ ﻳﺒﻠﻎ ﺣﺪ اﻟﺘﻮاﺗﺮ
Artinya: “Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas Hadits yang mutawatir.”[7]
Hadits ini dinamakan masyhur karena popularitasnya di masyarakat, walaupun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahih ataupun dikatan dha’if.
Ada juga di jelaskan oleh istilah ilmu hadist yaitu:
ما راوه ثلاثة فاكثر – في كل طبقة – ما لم يلغ حد التواتر
Artinya : “Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.”
Definisi ini menjelaskan bahwa hadist masyhur adalah hadist yang memiliki perawi yang sekurang-kurangnya tiga orang, dan jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad. [8]
2. Hadist Ghairu Masyhur
Hadist ghairu masyhur yang dikemukakan oleh ulama ahli hadist digolongkan menjadi dua macam, antara lain:
a. Hadits Aziz
Kata ‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang mempunyai arti yaitu sedikit atau jarang adanya, dan juga bida berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.[9]
Sedangkan menurut istilah hadist aziz adalah :
ما راوه اثنان ولو كنا فى طبقة واحده,ثم راوه بعد ذالك جماعة
Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya (diriwayatkan orang banyak)”.
Berdasar pengertian tersebut bahwa hadist Azis bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi saja pada setiap thabaqahnya, akan tetapi pada salah satu thabaqah , jika sudah terdapat dua orang rawi sudah bisa dikatakan sebagai hadist Azis.[10]
Contoh dari hadist Aziz:
لا يؤمن احدكم حتى اكون احب الىه من نفسه ووالدهوالنس اجمعين
Artinya: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia (Bukhari Muslim).”[11]
b. Hadits Gharib
Hadist Gharib dita’rifkan sebagai berikut:
ﻣﺎ اﻧﻔﺮد ﺑﺮواﻳﺘﻪ ﺷﺨﺺ ﻓﻰ اى ﻣﻮﺿﻊ وﻗﻊ اﻟﺘﻔﺮد ﺑﻪ ﻣﻦ اﻟﺴﻨﺪ
Artinya: “Hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”
Hadist gharib terbagi dua yaitu gharib mutlaj (fard) dan gharib nisby. Gharib mutlak yaitu apabila penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadist tentang personalianya dan harus berpangkal ditempat ashlus sanad yaitu tabi’in bukan sahabat.
Contoh:
انما الا عمل با لنيات (احرجه الشيخان )
Artinya: “Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”(HR Bukhori dan Muslim)
Hadist diatas merupakan hadist yang diriwayatkan oleh “Umar bin Khathab sendiri pada tingkatan sahabat.
Contoh lain:
مارواه مالك عن الزهري عن عناس رضي الله عنه ان نبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى راسه المغفر (احرجه الشيخان )
Artinya: “Hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Al-Zuhri dari Anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota makkah dan diatas kepalnya terdapat Al-Mighfar (alat penutup atau penutup kepala). (HR. Bukhori dan Muslim”
Pada hadist ini hanya Malik sendiri yang telah menerima hadist tersebut dari Al-Zuhri. [12]
Baca juga : Hadits dilihat dari kualitas perawinya
Kesimpulan
Hadist ditinjau dari kuantitasnya terbagi menjadi dua, yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang memiliki sanad yang pada tingkatanya terdiri atas perawi dengan jumlah yang banyak yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadist yang sudah mereka riwayatkan.
Hadist ahad adalah hadist yang telah diriwayatkan oleh satu orang saja atau hadist tidak memenuhi syarat hadist mutawatir.
Hadits ahad terbagi menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Dan hadist masyhur tidak terbagi, sedangkan hadist ghairu masyhur dibagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
Footnote
[1] Saifuddin Zuhri, jurnal. PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 55
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hdist, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 203
[3] Mohd Ghazali, jurnal, Ulum Al-hadsit, INSTITUT PENGAJIAN TINGGI AL-ZUHRI, 4 juni 2016, hlm.6
[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hdist, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 206
[5] Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Cet, 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.92.
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hdist, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 208
[7] Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Cet, 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 138.
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hdist, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 208
[9] Mohd Ghazali, jurnal, Ulum Al-hadsit, INSTITUT PENGAJIAN TINGGI AL-ZUHRI, 4 juni 2016, hlm. 16.
[10] Saifuddin Zuhri, jurnal. PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 61.
[11] Saifuddin Zuhri, jurnal. PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 61.
[12] Nawir Yuslem, Ulumul Hdist, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 217.