Hadits Tentang Bid’ah
Pada kesempatan kali ini dosenmuslim.com akan menebar ilmu tentang hadits tentang bid’ah. Di dalam hadits ini juga dilengkapi dengan referensi sumber bukunya, maka dari itu jangan ragu-ragu untuk membaca dan percaya. Untuk lebih jelasnya mari kita simak hadits tersebut di bawah ini.
KITAB ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH
HADITS KELIMA
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.[1]
Syarah Hadits kelima
Pakar bahasa Arab menjelaskan bahwa penolakan di sini bermaakna ditolak. Maksudnya, itu termasuk perbuatan batil yang tidak dihitung pahalanya.[2]
Syekh Muhyiddin An-Nawawi[3] menyatakan bahwa hadits ini merupakan satu kaidah penting dari kaidah-kaidah Islam. hadits ini termasuk jawami’ul kalim yang disampaikan oleh Rasulullah SAW karena belaiu secara jelas menolak setiap bid’ah dan amalan yang diada-adakan.
Dalam riwayat kedua terdapat tambahan, yaitu bahwa sebagian pelaku sutau bid’ah yang sudah ada sebelumnya kadang-kadang membatah saat disampaikan argumentasi dengan riwayat pertama. Mereka berkata, “Aku tidak mengadakan hal baru sedikitpun.” Oleh karena itu, disampaikanlah hujjah dengan hadits kedua. Pada hadits kedua terdapat penegasan tertolaknya segala hal yang diada-adakan, sama halnya entah pelaku bid’ah tersebut yang mengada –adakannya atau sudah ada terlebih dahulu sebelumnya.[4]
Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ahli ushul fikih yang berpendapat bahwa larangan itu menimbulkan kerusakan. Adapun orang yang berpendapat bahwa larangan tidak menimbulkan kerusakan mengatakan bahwa hadits ini kabar dari satu orang saja dan tidak cukup kuat untuk menetapkan kaidah penting ini. Ini merupakan jawaban yang tidak tepat.[5]
Hadits ini termasuk yang selayaknya dihafal dan digunakan dalam menghilangkan berbagai hal yang diingkari, serta disebarluaskan agar orang-orang mengambil dalil dengannya.[6]
Ulama telah menghitung beberapa perkara yang diada-adakan dalam agama ini, yang dilakukan oleh oang-orang bodoh, yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Oleh karena itu, selayaknya hadits ini dipakai sebagai dalil untuk membatilkan amalan mereka. Para pelakunya diberi hujjah dengan hadits yang shahih dan jelas ini, bahwasannya amalan mereka merupakan pelangaran dalam peribadatan. Di antara amalan mereka adalah apa yang ada di dalam ibadah shalat, seperti shalat raghaib[7], shalat pada pertengahan bulan sya’ban, dan mereka membaca QS. Al-An’am dam satu raka’at pada malam kedua puluh tujuh bulan Ramadhan serta membuat orang awam salah paham bahwa surat Al-An’am turun serentak di malam tersebut. Termasuk dalam bid’ah adalah bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang ditambahkan dalam iqamah shalat.[8]
Baca Juga Hadits Arba’in An-Nawawiyyah yang lain di bawah ini dengan klick saja hadits yang diinginkan;
Hadits ke-1; Hadits ke-2; Hadits ke-3; Hadits ke-4; Hadits ke-5; Hadits ke-6; Hadits ke-7; Hadits ke-8; Hadits ke-9; Hadits ke-10; Hadits ke-11; Hadits ke-12; Hadits ke-13; Hadits ke-14; Hadits ke-15; Hadits ke-16; Hadits ke-17; Hadits ke-18; Hadits ke-19; Hadits ke-20
REFRENSI BUKU
[1] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 37-28.
[2] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 38.
[3] Syekh Muhyiddin An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (12/16)
[4] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 38.
[5] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 38.
[6] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 39.
[7] Shalat dua belas rakaat antara maghrib dan isya’ pada malam jum’at di awal bulan Rajab.
[8] Ibnu Aththar, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah, (Solo: Tinta Medina, 2013) cet. ke-1, hal. 39.